thelocal150.com, Pariwisata Jepang Rugi Rp20 T, China baru Jadi Biang Pariwisata Jepang sedang berada di fase serba kikuk. Angka kerugian yang mencapai sekitar Rp20 triliun membuat berbagai pihak di Negeri Sakura uring-uringan. Ada yang menyebut kondisi ini sebagai masa paling tidak enak dalam pergerakan kunjungan internasional beberapa tahun terakhir. Di balik suasana yang mulai sendu, muncul satu biang kerok baru yang sering dibahas: penurunan wisatawan dari China.
Fenomena ini tidak datang tiba-tiba. Ada pola, ada dinamika, dan ada arus yang berubah. Artikel ini mengupas cerita tentang bagaimana Jepang harus bergulat dengan kondisi baru yang tidak selalu nyaman bagi industri wisatanya.
Gelombang Turis China yang Mendadak Lesu
Salah satu tonggak terbesar dalam kunjungan luar negeri Jepang adalah wisatawan dari China. Dalam satu dekade terakhir, China selalu berada di daftar teratas sumber wisatawan.
Namun, kini terjadi penurunan yang cukup keras. Ini bukan sekadar penurunan ringan seperti biasanya, tetapi seperti jatuh dari tangga dua lantai sekaligus.
Alasan yang Bikin Jepang Garuk Kepala
Ada beberapa hal yang membuat penurunan ini cukup terasa:
-
kondisi ekonomi China yang belum pulih sempurna
-
kebijakan perjalanan yang lebih ketat
-
sentimen publik terkait isu nuklir air olahan Fukushima
-
preferensi wisata baru yang mulai bergeser ke negara dengan biaya lebih murah
Bagi Jepang, turis China bukan sekadar jumlah besar, tetapi juga pasar yang dikenal gemar belanja. Ketika gelombang itu surut, efek domino langsung terasa ke banyak sektor sekaligus.
Dampak Langsung ke Industri Lokal
Ketika kunjungan turun, yang paling terlihat adalah:
-
toko oleh-oleh jadi sepi
-
penyedia transportasi wisata kehilangan ritme
-
hotel kelas menengah mulai longgar okupansinya
-
pusat belanja di area wisata kehilangan denyut
Beberapa kawasan bahkan menyebut turunnya turis China sebagai “hari-hari sunyi” yang mengingatkan mereka pada masa pandemi.
Kerugian Rp20 Triliun: Lebih Dari Sekadar Angka
Bagi sebagian orang, angka Rp20 triliun terlihat seperti sekadar berita besar. Namun, untuk Jepang, angkanya seperti alarm panjang.
Efek Tak Langsung yang Makin Nambah
Kerugian ini tidak hanya muncul dari pengeluaran turis yang menurun. Ada lapisan kerugian tambahan berupa:
-
pembatalan paket wisata kelompok
-
pengurangan jadwal penerbangan
-
terhentinya beberapa acara promosi luar negeri
-
biaya operasional tinggi yang tidak tertutup pemasukan
Efeknya merembet dari kota besar hingga daerah rural yang menggantungkan pemasukan pada turis musiman.
Daerah yang Paling Terpukul
Beberapa area yang biasanya menjadi primadona kini harus menerima kenyataan pahit. Kawasan seperti:
-
Tokyo sebagai pusat belanja
-
Osaka yang dikenal sebagai jantung kuliner
-
Hokkaido dengan pesona musim dinginnya
Semua mengalami penurunan pendapatan yang cukup mencolok.
China Baru Jadi Biang: Narasi yang Ramai Dibahas
Frasa “China baru jadi biang” bukan sembarang sindiran. Istilah ini mencuat setelah berbagai laporan menunjukkan turunnya wisatawan China sebagai penyumbang terbesar kerugian sektor pariwisata Jepang dalam beberapa bulan terakhir.
Persepsi Publik Jepang yang Mulai Berubah

Muncul diskusi di platform lokal Jepang tentang apakah negara terlalu bergantung pada satu pasar tertentu. Pariwisata Banyak warga menyadari bahwa ketergantungan terlalu besar membuat pariwisata rapuh ketika ada perubahan kecil dari satu sisi.
Lingkaran Ketergantungan yang Sulit Diputus
Jepang selama bertahun-tahun membentuk hubungan erat dengan pasar wisata China. Mulai dari:
-
layanan pemandu berbahasa Mandarin
-
pusat belanja yang menyesuaikan produk untuk turis China
-
restoran yang menyediakan menu dengan bahasa China
-
hotel yang punya staf khusus dari komunitas mereka
Setelah struktur itu terbentuk, tiba-tiba perubahan besar ini membuat semuanya harus dipikirkan ulang.
Langkah Jepang untuk Kembali Berdiri
Walaupun situasinya rumit, Jepang bukan tipe negara yang tinggal diam.
Promosi Besar-Besaran ke Negara Lain
Jepang mulai mengalihkan perhatian ke negara Asia Tenggara, Eropa, hingga Timur Tengah. Mereka membangun kampanye untuk:
-
memancing wisatawan muda
-
memperkuat citra hiburan modern Jepang
-
mengangkat budaya tradisional melalui acara musiman
-
membuat paket kunjungan ramah keluarga
Ini menjadi usaha untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pasar terbesar sebelumnya.
Penguatan Destinasi yang Terlupakan
Beberapa daerah yang dulu jarang disorot kini mulai mendapat angin segar. Pariwisata Jepang mencoba membagi perhatian wisatawan agar tidak hanya menumpuk di Tokyo atau Osaka. Ini bukan hanya tentang menarik kunjungan, tetapi juga menciptakan keseimbangan.
Tantangan di Lapangan: Bukan Perkara Mudah
Meskipun arah baru sudah terbentuk, jalan yang dilalui masih tampak panjang.
Persaingan Global yang Makin Ketat
Negara seperti Thailand, Korea Selatan, Vietnam, dan Malaysia kini memberikan pengalaman wisata yang tidak kalah bagus dan sering kali lebih terjangkau. Ini membuat banyak turis—termasuk dari China—mulai menimbang ulang destinasi.
Biaya Hidup Jepang yang Makin Tinggi
Kenaikan harga akomodasi, makan, dan transportasi membuat Jepang kurang ramah bagi wisatawan berbudget menengah. Dalam kondisi ekonomi regional yang belum stabil, ini menjadi tantangan besar.
Kesimpulan
Pariwisata Jepang sedang berada pada fase penuh tantangan, dan turunnya wisatawan China menjadi pusat sorotan publik. Pariwisata Kerugian hingga Rp20 triliun menunjukkan betapa besar pengaruh satu pasar ketika terguncang. Namun, Jepang mulai bergerak untuk mengalihkan fokus ke negara lain, memperkuat destinasi baru, serta meracik pendekatan yang lebih seimbang.
Meski jalan perbaikan masih panjang, Jepang tetap punya dorongan kuat dari sisi budaya, teknologi, dan pesona alam. Dengan adaptasi dan kreativitas, sektor pariwisata Jepang punya peluang besar untuk kembali stabil dalam waktu dekat.